Senin, 05 April 2010

Cinta dan Kasih Sayang, Prinsip utama Islam


Sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa inti dari keseluruhan ajaran Islam itu adalah kasih sayang. Mulai dari sumber asal (Allah SWT), kitab pedoman (Al Quran), dan aplikasi praktisnya (Muhammad SAW) adalah kasih sayang

Belum lama setelah Nabi SAW wafat, Abu Bakar al-Shiddiq yang terpilih menjadi khalifah mendatangi Aisyah dan bertanya kepadanya, apa gerangan yang sering dilakukan oleh Nabi SAW yang belum ia penuhi?
Aisyah kemudian menunjuk bahwa di kampung sana ada seorang perempuan Yahudi, sudah sangat tua lagi buta, dan dari mulutnya selalu keluar ucapan cercaan, makian, hinaan dan kecaman terhadap Muhammad.

Nabi SAW saban hari datang mengunjunginya, memberi makan dan merawat perempuan tua ini dengan penuh kasih sayang. Perempuan tua ini sama sekali tidak tahu bahwa yang merawatnya ini adalah manusia agung yang selalu dicerca dan dimakinya itu.

Ketika Abu Bakar kemudian menemukan perempuan tua tersebut, Abu Bakar pun mencoba mendekati dan mencoba melakukan seperti yang dilakukan Nabi SAW terhadapnya. Akan tetapi, baru pada suapan pertama, nenek tua itu memuntahkan apa yang sudah masuk ke mulutnya, dan berkata dengan sangat marah, "Siapa kamu?" Pasti bukan kamu yang sering datang menyuapi dan merawatku. Tidak seperti itu cara dia memperlakukanku."

Abu Bakar al-Shiddiq menjawab, "Betul nek, memang bukan aku. Orang yang sering mendatangi nenek tersebut telah meninggal dan dia adalah Muhammad SAW." Mendengar nama Muhammad disebut, nenek tua tadi tersentak kaget, sungguh berbeda dengan apa yang ada di benaknya selama ini, tapi dia masih sempat mengucap syahadat, lalu meninggal.
Sungguh amat agung pribadi Nabi. Celaan, cemoohan, cercaan, makian, rasa benci, sang nenek Yahudi sama sekali tidak membuat sifat agungnya tercederai sedikit pun. Dia tetap merawatnya dengan sepenuh kasih sayang.

Satu bukti yang menegaskan keagungan sifat yang sangat pengasih dan penyayang. Tidak heran jika banyak musuhnya yang kemudian menjadi pembela dan sahabat setianya. Tidak heran juga jika sahabat-sahabatnya begitu amat mencintainya melebihi cintanya bahkan kepada dirinya sendiri dan keluarganya.

Abu Sufyan, musuh besar Nabi terkagum-kagum dan berkata,...'Sungguh aku belum pernah melihat seorang pun yang dicintai sahabatnya sebagaimana sahabat Muhammad mencintainya'...". Tidak heran, karena Allah sendiri memuji pribadi agung itu, wa innaka la 'ala khuluqin adhim (sungguh telah ada pada dirimu perangai akhlak yang agung).


Dari mana sih sifat kasih sayang Nabi itu? Mengapa dalam diri beliau tertanam sifat yang amat penuh cinta dan kasih itu?
Dalam hal ini, ada tiga hal yang mungkin bisa dijelaskan terkait dengan pribadi agung ini. Yang pertama adalah Allah SWT sebagai pendidiknya yang utama, dan yang mendidiknya secara langsungnya, yang diakui oleh nabi sendiri, Addabani rabbi fa ahsana ta'dibi (Tuhanku telah mendidikku dan mendidikku dengan pendidikan terbaik). Sebagai pendidik paling agung, Allah sendiri melalui Al Quran menginformasikan kepada kita bahwa Dia sendiri telah mewajibkan atas dirinya sifat kasih sayang, kataba 'ala nafsihi al-rahmah.


Pedoman Hidup

Dari sini kemudian kita bisa menebak dan mengetahui bahwa apa pun yang diturunkan dari-Nya pastilah produk dari sifat kasih sayang tersebut. Mulai dari pengutusan para nabi dan rasul yang tugasnya membimbing manusia, menurunkan kitab suci (ayat qauliyah) yang merupakan firmannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup. Alam semesta (ayat kauniyah) yang ditundukkan kepada manusia untuk dikelola dan dikhalifahi sesuai petunjuk-Nya, dan lain-lain. Kasih sayang itulah yang mendasari semua yang ada ini. Ini yang penting dicatat sebagai sebuah paradigma mendasar dari keseluruhan ajaran Islam itu sendiri.

Khusus yang terlihat dari kitab-Nya (ayat qauliyah), seabrek ayat yang menunjuk langsung kepada sifat rahmah ini dapat kita lihat dari ratusan jumlah kata rahmah atau derivasinya yang ada di dalam Quran, setiap surah kecuali surah Bara'ah dimulai dengan basmalah (Bismillahirrahmanirrahim).
Bahkan ada surah yang dinamai surah al-Rahman (surah kasih sayang). Allah sebagai sumber kasih sayang tersebut, dengan kasih sayangnya tidak hanya menurunkan kitab petunjuk, tapi juga mengutus rasul sebagai contoh hidup, aplikasi nyata dari kitab itu atau yang biasa diistilahkan dengan Quran berjalan.
Dialah Muhammad SAW. Allah sendiri lewat Al Quran menyatakan, Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil-'alamin (Tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak Nabi SAW, Aisyah menjawab, kana khuluquhu Al Quran (Akhlak beliau adalah Al Quran).
Apa yang penulis ceritakan di atas adalah secuil dari episode panjang perjalanan hidup beliau dalam menerapkan prinsip kasih sayang tersebut. Beliau juga pernah bersabda, irhamu man fi al-ardhi yarhamkum man fi al-samai.
Kutipan cerita nenek Yahudi yang sangat membenci Nabi SAW tersebut menegaskan dan meyakinkan kita betapa prinsip kasih sayang itulah yang menjadi core, prinsip Islam yang paling utama, tanpa melihat kepada siapa obyek kasih sayang itu ditujukan.
Dengan demikian, sesungguhnya kita bisa mengatakan bahwa inti dari keseluruhan ajaran Islam itu adalah kasih sayang. Mulai dari sumber asal (Allah SWT), kitab pedoman (Al Quran), dan aplikasi praktisnya (Muhammad SAW) adalah kasih sayang.


Prasangka Baik
Seluruh perintah dan larangan ajaran agama atau dengan kata lain, hukum Islam, pinsipnya adalah kasih sayang. Hukum menjadi sarana bagi kita memastikan setiap orang mendapatkan kasih sayang. Bahkan prinsip surga dan neraka adalah kasih sayang.
Neraka tidaklah Allah jadikan secara sengaja untuk menghukum hambanya yang berdosa, tapi di balik itu ada prinsip kasih sayang yang mendasarinya. "Rahmatnya mendahului murka-Nya" demikian salah satu hadis Nabi saw yang kita baca.
Para ulama kita memaknainya, "bahkan di dalam murkanya sekalipun, di balik musibah yang menimpa kita misalnya, sesungguhnya tersimpan kasih sayang-Nya."
Tentu kalau prinsipnya kasih sayang, akan melahirkan cara pandang, cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak yang pasti akan berbeda dengan yang lain. Prinsip ini juga yang membuat Islam menjadi inklusif karena pendekatannya kepada orang lain adalah kebaikan hati, berpikir potitif, dan prasangka baik.
Ketika seorang pemuda mendatangi majelis Nabi SAW dan dengan terus terang menyatakan keinginannya untuk berzina, karena dia tidak dapat menahan dirinya, para sahabat dalam majelis itu bereaksi. Ada yang mencelanya, ada yang menarik bajunya, dan ada juga yang siap untuk memukulnya.
Akan tetapi, Nabi SAW dengan penuh kasih menarik sang pemuda itu mendekat kepadanya, dan mulai berbicara dengannya dari hati ke hati. "Relakah kamu jika ibumu juga dizinai oleh seseorang?" Demikian antara lain isi pembicaraan Nabi SAW yang sama sekali di luar dugaan pemuda itu, dan begitu menohok sisi terdalam kemanusiaannya, yang kemudian membuatnya kehilangan semua keinginannya untuk berzina.

Sebagai hamba Allah SWT Yang Maha Pengasih, yang mempedomani kitab suci Al Quran, dan menauladi Muhammad SAW, kita tentu sangat dituntut untuk memancarkan prinsip kasih sayang tersebut kepada alam semesta secara keseluruhan. Ala kulli hal, kasih sayang itu harus kita pancarkan setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari kepada siapa pun dan kepada seluruh makhluk-Nya.
Kasih sayang dalam Islam sungguh tidak mengenal waktu khusus, seperti yang dirayakan sebagian besar anak-anak muda kita dewasa ini, dan kasih sayang yang mereka kenal justru sangat bertentangan dengan kasih sayang yang diajarkan Islam.**


Selengkapnya...

Keimanan Sahabat Sejati

AMIRUL Mukminin Khalifah Sulaiman Abdul Malik adalah sepupu Umar Abdul Aziz. Hubungan mereka sangat erat sehingga khalifah menamakan Umar sebagai pewaris takhtanya. Walaupun kaum kerabat khalifah tidak menyukainya, khalifah tetap meneruskan hasratnya itu kerana Umar amat taat kepada agama.

Seorang menteri dan penasihat khalifah terkenal alim lagi warak, Raja’ Haiwah menasihati Sulaiman sewaktu akhir hayatnya: “Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau akan dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat daripada Allah SWT di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu? Jawab Khalifah Sulaiman: Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz.”

Suatu hari, sewaktu pemerintahannya, Sulaiman mengajak Umar ke kem tentera Bani Umayyah. Sulaiman bertanya kepada Umar: “Apakah yang kamu lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?” Khalifah nampak terlalu bangga ketika melihat kekuatan pasukan yang sudah dilatih.

Namun Umar menjawab tanpa rasa takut: “Aku sedang melihat dunia itu sedang dilahap antara satu sama lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggungjawab dan akan ditanyakan oleh Allah SWT mengenainya.”

Khalifah Sulaiman berkata lagi: “Tidakkah kamu takjub dengan kehebatan pemerintahan kita ini? Jawab Umar lagi: “Bahkan yang paling hebat dan membuatku takjub ialah orang yang mengenali Allah SWT kemudian menderhakai-Nya, mengenali syaitan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepadanya.”

Mengamati perbualan antara khalifah dan sahabat sejatinya, Umar Abdul Aziz itu jelas terlihat keikhlasan dan cinta kasih dalam perhubungan dua insan atas nama persahabatan dunia akhirat. Sulaiman menangis setiap kali Umar menasihati dengan penuh kasih sayang.

Kedua-dua bapa mereka iaitu Abdul Malik dan Abdul Aziz adalah adik beradik daripada keturunan kerajaan Bani Umayyah. Pertalian darah merapatkan hubungan mereka. Namun yang paling ketara ialah pertalian hati yang ikhlas kerana Allah SWT dalam mencintai saudaranya.

Teman paling rapat kadang-kadang boleh menjadi musuh dalam selimut melainkan orang dipelihara Allah SWT hati mereka daripada khianat, dengki yang disembunyi dan dendam yang dipendam. Dunia menunjukkan kesudahan orang yang teraniaya angkara teman sendiri, ada yang muflis disebabkan mahu menolong kawan.

Dipenjara kerana membela orang yang istimewa baginya tetapi orang itu akhirnya langsung tidak mengenang budi dan jasa sahabatnya itu. Semua terjadi kerana sikap kepura-puraan, bermuka-muka dan saling mengampu. Hubungan yang tidak diasaskan dengan kejujuran, keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Al-Quran mengabadikan kejujuran dan keikhlasan persahabatan antara Muhajirin dan Ansar dalam firman Allah yang bermaksud: “Dan orang yang menduduki kota Madinah dan beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Ansar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Ansar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara daripada kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung.” (Surah al-Hasyr, ayat 9).

Syarat tali persaudaraan boleh menjadi kukuh menurut al-Quran ialah jika anda dan sahabat disatukan oleh ikatan iman. Bukan kerana ikatan perniagaan atau assabiah jahiliah. Ia terlalu rapuh untuk dipegang, bahkan dua insan boleh dirosakkan oleh hubungan sebegitu.

Jika untung boleh jadi kawan, rugi pula saling tikam menikam. Masa berkuasa semua menyokong jika jatuh tanpa kuasa tiada seorang pun mahu menolong. Begitu pula di dunia, mereka boleh jadi sahabat rapat saling menguntungkan tetapi di akhirat, mereka menjadi musuh yang saling cela mencela.

Firman Allah SWT yang bermaksud: “Teman akrab pada hari itu sebahagiannya menjadi musuh bagi sebahagian yang lain kecuali orang bertakwa.” (Surah al-Zukhruf, ayat 67)

Ketika di dunia mereka saling tolong menolong pada jalan batil, jika seseorang melakukan kejahatan maka sahabatnya itu malah memuji dan mengampu kerana mahu mengambil kesempatan atas kelemahan saudaranya.

Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan daripada Abi Bakrah, beliau berkata: “Seorang lelaki memuji seseorang di sisi Rasulullah SAW kemudian Baginda SAW bersabda yang bermaksud: Engkau telah memotong leher sahabatmu. Barang siapa yang memuji saudaranya dengan tidak dapat dielakkan juga, maka hendaklah dia berkata: Aku menilai si polan. Dan Allah SWT yang menjadi penilai yang sebenar, seseorang tidak boleh menyucikan seseorang melebihi Allah SWT.”

Oleh itu, sahabat Rasulullah SAW amat membenci perbuatan suka mengampu, padahal mereka memang selayaknya mendapat pujian. Seorang lelaki memuji Abdullah bin Umar katanya: “Wahai sebaik-baik manusia, wahai anak sebaik-baik manusia.”

Maka ibu Umar berkata: “Aku bukan sebaik-baik manusia dan bukan anak sebaik-baik manusia tetapi aku seorang hamba Allah SWT daripada hamba-hamba Allah SWT, aku berharap kepada Allah SWT dan aku takut kepada Allah SWT. Demi Allah SWT jika kamu tidak mahu berhenti mengatakan yang demikian itu kepada seorang lelaki maka engkau sesungguhnya telah membinasakan dia.”

Iman menjadi penyatu dua hati, jika iman berbicara sikap ditunjukkan seseorang kepada saudaranya benar-benar bersih daripada kepentingan dunia. Dia berdiri sebagai pendamping yang jujur dalam menyatakan pandangannya, tidak ada apa yang ditutupi, yang pahit sama ditelan yang manis sama dirasa.

Dialah penasihat paling ikhlas demi kebaikan saudaranya, dia mewarnai pemikiran dan perasaan, pandangan dan sikap saudaranya dengan nilai agama yang membawa suasana harmoni di antara dua hati. Matlamat mereka bertemu dan bersahabat ialah kerana Allah SWT, agenda mereka rancang bersama ialah demi cita-cita akhirat. Tidak sesekali mereka biarkan dunia menghancurkan persahabatan itu.

Rasulullah SAW bersabda mengenai keperibadian sahabat sejati yang bermaksud: “Mahukah kamu aku beritahukan mengenai orang baik di kalangan kamu? Para sahabat menjawab: Ya Wahai Rasulullah. Baginda SAW bersabda: Apabila kamu memandang kepada mereka, kamu teringat kepada Allah. Kemudian Rasulullah SAW bersabda lagi, bermaksud: “Mahukah kamu aku beritahukan orang yang jahat di kalangan kamu? Mereka ialah orang yang suka melaga-lagakan antara dua orang, yang suka merosakkan hubungan kasih sayang antara mereka yang berkasih sayang dan suka mencari aib cela orang yang baik-baik.” (Hadis riwayat Imam Ahmad)

Jika kita memandang ke wajah seseorang diberkati Allah SWT, seolah-olah memancar cahaya keimanan yang menembusi hati kita, aura iman itu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita kepada kelemahan diri.

Tetapi kadang-kadang kita menemukan seseorang yang membawa aura jahat daripada kalbunya sehingga pantulannya mempengaruhi pemikiran, sikap dan matlamat kita. Bukan senang menemukan seseorang yang benar-benar ikhlas mahu bersahabat kerana Allah SWT, mungkin disebabkan diri kita sendiri belum lagi baik maka susah sungguh untuk menemukan lelaki yang benar-benar baik dijadikan sahabat sejati.

Selengkapnya...

Template by:
Free Blog Templates